Rabu, 20 Juni 2018. Saya tdk pernah menyangka, hari itu akan menjadi hari terakhirku melihat mamiku, ibu kandung yang melahirkan dan membesarkanku. Meski saya tahu, stroke yang menimpanya delapan tahun yang lalu cukup membuatnya menderita selama ini dan saya sudah mengikhlaskan diri andai suatu saat harus berpisah dengannya, tetap saja ketika hal itu benar-benar terjadi saya shock dan sangat terpukul. Ternyata kehilangan itu rasanya sakit sekali.
Otakku blank. Berhari-hari mataku tdk berhenti menangis. Saya juga tiba-tiba menjadi sangat benci melihat seragam kantor, laptop, kumpulan buku~novel, mesin jahit, peralatan salon. Saya berpikir, karena semua hobi/kesenangan dan ambisi itulah waktuku bersama mamiku menjadi sangat terbatas. Meskipun di setiap weekend saya masih meluangkan waktu mengajaknya jalan-jalan keliling kota atau sekedar mencari tempat makan yang enak, namun itu hanya dalam hitungan jam saja. Saya jadi tdk punya cukup banyak waktu untuk menemani beliau.
Kesedihanku yang berlarut-larut lebih disebabkan rasa bersalahku karena tdk benar-benar mengurus dan menemani mamiku, hingga akhirnya maut menjemputnya. Saya menemani di dekatnya sambil memegang dan mengecup tangannya, justru pada saat dia sedang berada dalam proses sakaratul maut. Saya menuntunnya berdzikir, justru pada saat bibirnya sudah nyaris susah digerakkan. Saya mengurus dan memandikannya, justru pada saat dia sudah menjadi jenazah yang terbujur kaku. Dan penyesalan itu jauh lebih sakit daripada sekedar kehilangan.
Namun kembali lagi, kematian adalah takdir yang akan menghampiri setiap orang. Kematian, rahasia Tuhan yang tdk bisa diramalkan kapan datangnya. Tua-muda, sakit-sehat, sewaktu-waktu ajal bisa datang menjemput tanpa diduga. Tugas kita sebagai manusia hanya mempersiapkan diri sebaik-baiknya dengan memperbanyak amal ibadah untuk bekal di akherat kelak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar